Oleh: M. Yusuf Ibrahim
Ramadan, sebagai bulan mulia yang hanya Allah berikan kepada umat Islam, sebenarnya memiliki misi yang teramat dahsyat. Hanya saja, misi itu barangkali tidak banyak disadari oleh umatnya sendiri. Beberapa dari kita menempatkan Ramadan sebagai momen tahunan biasa, ketika amaliah selama berpuasa menjadi sebuah spiritual routine yang dilakukan sekeluarga, tetapi justru terlupakan di luar Ramadan.
Apabila kita menelisik kembali bagaimana Allah menyampaikan amanat berpuasa di dalam Al-Baqarah ayat 183, Allah tidak menyebutkan, “Wahai orang-orang Islam,” sebagai mukhothob, sebagai yang diajak bicara. Melainkan Allah menyeru secara intim dan khusus dengan menggunakan diksi, “Wahai orang-orang yang beriman,” sebagai mukhothobnya. Jika tidak terbiasa mengkaji kata-kata di dalam bahasa Arab, akan banyak orang yang dengan percaya diri mengatakan bahwa ber-Islam dan beriman adalah sama. Sekilas, kedua kata itu memiliki kemiripan dan keterkaitan. Namun, dari segi makna kata bahasa Arab, keduanya memiliki maksud yang berbeda dan lebih mendalam.
Kata “Islam” di dalam bahasa Arab berarti tunduk patuh dan berserah diri secara total kepada sesuatu. Sedangkan, kata “iman” di dalam bahasa Arab berarti mendeklarasikan keyakinan teguh kepada sesuatu yang menuntun dan menuntut adanya bukti baik dari dalam hatinya, ucapannya sampai tindak tanduk kesehariannya. Apabila diikat dalam bingkai agama Islam, keduanya seakan-akan memiliki hubungan. Sederhananya, orang yang beriman sudah pasti ber-Islam, tetapi ber-Islam tidak menjamin keimanan. Sederhananya, kita sering mendengar ungkapan semacam, “Ah, imanku lagi turun, nih,”atau “Alhamdulillah, imanku sedang tinggi.” Di saat yang sama, kita tidak pernah mendengar, “Ah, Islamku lagi turun, ini,” atau, ‘Alhamdulillah, Islamku lagi oke, nih.”
Ramadan, sebagai bulan teragung dalam kalender Islam, memiliki keistimewaan dan misi besar yang hanya bisa dirasakan dan digapai secara sempurna oleh mereka yang berkeyakinan teguh kepada Allah, mereka yang beriman dengan total. Misi itu, sebagaimana termaktub dalam Al Baqarah 183, adalah “agar menjadi hamba-hamba yang bertakwa.”
Hamba yang bertawa adalah derajat tertinggi hubungan manusia biasa terhadap Tuhannya. Berbeda dengan para nabi yang biasa disebut khalil, seperti Ibrahim. Khalil memiliki arti sahabat dekat yang tanpa sekat saking dekatnya. Bahasa lainnya adalah kekasih. Karenanya, gelar takwa, bagi manusia biasa yang ber-Islam seperti kita, adalah sebuah jenjang tertinggi penghambaan yang seharusnya diburu dengan sungguh-sungguh.
Ramadan memiliki misi dan peran strategis untuk mengantarkan manusia menjadi kekasih Allah sehingga semua hal yang ada di dalamnya dijadikan sebagai medan latihan, pedoman tuntunan, dan model untuk menggapai gelar takwa tersebut. Itulah mengapa kita sering mendapati diksi penuh euforia tentang bagaimana menariknya Ramadan. Contohnya saja, pintu surga dibuka selebar-lebarnya dan pintu neraka ditutup serapat-rapatnya. Setan dibelenggu. Malaikat bertebaran lebih banyak untuk mencatat sekecil apa pun kebaikan manusia. Memberi buka puasa mendapat pahala yang sama dengan orang yang berpuasa. Salat-salat tarawih ramai dan salat-salat tahajud hidup, setiap rakaatnya akan dikali-kali lipat pahalanya, begitu juga dengan sedekah dan lainnya. Ajakan-ajakan ini adalah bentuk motivasi yang menggembirakan agar manusia seperti kita mau ikut serta bergabung dalam barisan orang-orang yang memburu takwa.
Lalu muncul pertanyaan, untuk siapa puasa Ramadan itu?
Jawabannya adalah untuk mereka yang mengaku beriman. Bukan untuk mereka yang mengaku ber-Islam yang tanpa melibatkan iman. Orang yang beriman akan menjalani Ramadan sebagai perjalanan pembuktian cinta, sehingga apa pun akan mereka kerahkan sekuat tenaga dengan harapan untuk sampai kepada derajat takwa.
Mereka yang mengaku ber-Islam saja akan menjalani Ramadan sebagai ujian semata. Maka, lapar dan hausnya menjadi musuh. Namun, gibah, mencuri, menyakiti, dan berlaku zalim justru tetap dipelihara menjadi teman. Padahal, bagi orang beriman, yang berpuasa tidak hanya pada urusan perut semata, tetapi adalah urusan mata, mulut, telinga, akal, hati, tangan, kaki dan semua anggota tubuhnya.
Itulah mengapa amanat Ramadan tidak menggunakan diksi, “Wahai orang-orang yang ber-Islam,” tetapi menggunakan diksi, “Wahai orang-orang yang beriman,” sebab hanya orang beriman yang dapat menangkap sinyalnya, memahami misi dan tujuannya serta hanya mereka yang akan sampai pada tujuan takwa.
Untuk itu, mari kita berkontemplasi untuk menemukan kembali, di mana sebenarnya posisi kita pada Islam dan iman itu, sehingga Ramadan yang agung ini tidak berlalu begitu saja karena kebodohan kita dalam memaknainya.
Editor: FFP