
“Ibu Guru Umi?” tanya saya memastikan ketika sosok berjilbab motif kembang itu mendekat. Wajahnya tertutup masker sebagai langkah pencegahan penularan virus korona.
“Betul,” jawab beliau seraya mengambil tempat di sebelah kanan saya di Gule Kepala Ikan Dahlan yang terletak tak jauh dari Jalan Malioboro.
Saya bersama beberapa rekan lainnya langsung terlibat obrolan hangat dengan anggota Dewan Pertimbangan FLP 2021-2025 ini. Beliau memang menyempatkan diri menemui Forum Lingkar Pena (FLP) Wilayah Yogyakarta di sela-sela kegiatan sekolah yang membawanya ke Kota Pelajar ini pada Sabtu (22/1) lalu.
Satu topik yang membuat saya penasaran adalah peran beliau sebagai presidium sidang musyawarah nasional (munas) FLP tiga kali berturut-turut. Apa yang membuat kawan-kawan di FLP selalu menunjuknya menempati pos satu ini?
Sempat Berniat Kabur
Sejak bergabung dengan Forum Lingkar Pena (FLP), setiap kali mengikuti musyawarah nasional (munas) FLP, setiap kali itu pula beliau diamanahi menjadi pimpinan sidang. Pemilik nama pena Ibu Guru Umi ini mengawali kiprahnya di FLP dengan langsung menjadi FLP Cabang Jombang. Ketika mewakili FLP Jombang pada Munas III FLP di Bali itulah, beliau pertama kali diserahi tugas menjadi presidium.
“Jadi Jombang itu selama beberapa waktu kepengurusannya tidak terlalu aktif. Ketika Pak Fathoni lengser, [kepemimpinan] langsung diserahkan ke saya, nggak ada pengurus lainnya. Waktu itu kami sedang sama-sama jemput anak, sama-sama sedang naik sepeda motor, lalu ketemu di persimpangan. Beliau teriak, ‘Bu Umi jadi ketua Forum Lingkar Pena, ya.’ Itu serah terima paling konyol yang pernah saya dapat,” kenangnya sambil tertawa.
Meskipun datang sendirian di Munas III, Ibu Guru Umi bertemu dengan para delegasi dari Jawa Timur yang sudah dikenalnya karena beberapa kali diminta mengisi acara. Mereka inilah yang rupanya menjadi dalang di balik penunjukan beliau sebagai presidium.
Sudah berminat ‘kabur’ dari forum sidang untuk menemui kerabatnya yang tinggal di Bali, Ibu Guru Umi memilih duduk di tempat paling belakang dekat pintu keluar. Ketika forum merundingkan calon presidium tetap yang terdiri dari dua laki-laki dan satu perempuan, para delegasi dari Jawa Timur kompak mengusulkan namanya.
“Ditanya kesediaan, ya, sebenarnya enggak bersedia, tapi satu-satunya nama perempuan yang dicalonkan cuma saya. Akhirnya ketiban sampur,” tuturnya.
Beruntung, Ibu Guru Umi ditandemkan dengan Ustaz Khairani, yang hingga saat ini juga tercatat beberapa kali menjadi presidium sidang munas FLP, meskipun tidak berturut-turut.
“Ustaz Khairani sangat membantu, karena beliau orangnya sangat sistematis. Beliau yang memberi tahu, misalnya, ketokan palu berapa kali menandakan apa. Selanjutnya, mengalir saja.”
Rupanya warga FLP cukup puas dengan kepiawaiannya dalam memimpin sidang. Terbukti, pada Munas IV dan V, masing-masing digelar di Bandung dan secara daring yang berpusat di Malang, Ibu Guru Umi kembali terpilih sebagai presidium tetap.
Penyambung Gagasan
Siapa pun yang diangkat menjadi presidium, sesuai ketentuan, akan kehilangan hak bicara dan hak suara dalam sidang. Namun, bagi pemilik nama asli Umi Kulsum ini, hal tersebut justru memberikannya kesempatan untuk menjembatani setiap ide yang muncul dari para peserta.
“Di munas itu kan banyak kepala dengan berbagai latar belakang. Sebagai pimpinan, dalam Bahasa Jawa, istilahnya harus bisa ‘nengah minggir’. Kita harus tahu kapan perlu tegas, kapan perlu agak santai. Yang paling susah memang begitu, ya, mengakomodasi keinginan banyak orang. Saya juga harus bisa menganalisis dan menangkap maksud dari tiap-tiap orang dari apa yang disampaikan itu, baik itu yang secara verbal maupun yang tersembunyi. Sebenarnya dia mau ngomong apa sih? Itu kan kadang ada polanya dari cara beberapa kali dia mengusulkan,” jelasnya.
Menurutnya, perbedaan pola bicara inilah yang sering kali menyebabkan sidang berlangsung sangat lama. Maka, kemampuan presidium membaca dan menangkap narasi menjadi sesuatu yang sangat berperan untuk mengefektifkan waktu.
“Saya mendapati, beberapa kali, sidang itu agak bertele-tele, waktunya molor, kemudian suasana jadi enggak enak itu karena antara keinginan satu dengan yang lain itu enggak bisa dikendalikan, akhirnya kacau. Jadi, tantangannya, bagaimana caranya supaya pembahasan itu cepat, ringkas, tapi hasilnya bagus,” terang Ibu Guru Umi.
Narasi dan Bantahan yang Santun
Sebelum menjadi presidium di tiga kali sidang FLP, penulis yang baru saja menyabet penghargaan sebagai Penulis Terpuji pada Munas V lalu ini pernah juga menjadi presidium di sidang yang diadakan oleh lembaga lain. Dari pengamatan beliau, satu hal yang menjadi pembeda sidang FLP dengan sidang lainnya adalah kesantunan bahasa yang disampaikan para pesertanya. Penyebabnya mungkin adalah misi FLP sebagai organisasi penulis yang mengedepankan nilai-nilai keislaman.
“Mungkin karena FLP itu kumpulan orang-orang yang banyak baca, belum lagi bobot amanat dakwahnya di FLP itu besar, jadi serumit-rumitnya sidang di FLP itu kesantunan dan kebagusan narasinya tetap terjaga. Itu yang saya suka. Di lembaga lain, mungkin bisa sampai keluar umpatan, banting-banting meja. Di sini enggak, [karena] kita mainnya narasi,” tekannya.
Sebagai presidium, Ibu Guru Umi memang punya keleluasaan lebih mengamati karakter masing-masing orang karena tidak terbebani oleh gagasannya sendiri. Kesimpulannya, orang-orang dalam FLP menjunjung tinggi sikap saling menghargai dan memahami.
“Misalnya, ketika Mas Ganjar (Widhiyoga, Sekretaris Jenderal FLP 2017-2021, red.) bicara, saya cermati bahasanya yang keren banget. Atau ketika Maimon Herawati (salah satu pendiri FLP, red.) bicara, atau Mas Muflihin (Ketua FLP Yogyakarta). Oh, mereka ciri khasnya begini. Ketika ada perbedaan pendapat, mereka menyikapinya dengan narasi yang variasinya banyak, tapi semua menyampaikan dan meng-counter-nya dengan Bahasa yang santun dan tetap penuh kasih sayang,” ujarnya kagum.
Ambil Kesempatan
Setelah tiga kali menjadi presidium, Ibu Guru Umi mengaku ingin menjadi peserta biasa saja di munas-munas berikutnya. Selain proses sidang yang cukup menguras tenaga, beliau juga ingin memberi kesempatan kepada orang-orang yang lebih muda untuk memimpin sidang.
Nah, kepada siapa pun yang bakal ketiban sampur sebagai presidium di munas berikutnya, Peraih Pena Award kategori Kumpulan Cerpen Anak ini berpesan agar mereka mengambil kesempatan tersebut ketika dipilih.
“Orang-orang FLP itu kan pembelajar cepat berkat kemampuan membaca yang banyak. Ketika merasa enggak mampu, nanti akan ada, kok, momennya kita memahami ritme. Orang-orang FLP itu sangat suportif. Ambil kesempatan itu, pelajari bagaimana membuat sidang yang efektif dengan mengamati orang lain. Ini momen belajar yang luar biasa,” pungkasnya.(*FFP)